Sabtu, 10 Desember 2011

Filsafat Ilmu

FILSAFAT ILMU
DASAR-DASAR ILMU PENGETAHUAN

A. Landasan Ontologi
Ontologi yang merupakan salah satu bahasan filsafat yang paling kuno diantara lapangan penyelidikan filsafat yang lain yang membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis ialah seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pemikiran awal mula alam Yunani telah menunjukan perenungan dalam bidang ontologi ialah atas pemikiran Thales, yang merupakan salah satu filsafat Yunani yang terkenal dan tertua.[1]
Pada masanya, kebanyakan orang belum bisa  membedakan antara penampakan dengan kenyataan. Dan pendekatan ontologi dalam filsafat mencullah beberapa paham, yaitu: (1) Paham monisme yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme; (2) Paham dualisme, dan (3) pluralisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham Ontologik.
Ontologi merupakan cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat sesuatu yang ada. Dari aliran ini muncul empat macam aliran filsafat, yaitu : (1) aliran Materialisme; (2) aliran Idealisme; (3) aliran Dualisme;(4) Prulallisme; (5) aliran Agnoticisme[2]. Pembicaraa tentang Hakikat adalah menerangkan dari segala sesuatu yang ada dan hal ini merupakan pembicaraan yang luas sekali, karena hakikat adalah suatu realitas, yakni sesuatu yang nyata dan sebenaranya. Jadi hakikat adalah sesuatu yang nyata dan sebenarya dan bukan kenyataan sementara, berubah dan menipu.  Adalah suatu hal yang harus kita terangka kepada orang lain dalam persoalan ontologi. Pertama kali orang dihadapkan kepada dua macam kenyataan, yakni: Pertama, pernyataan yang berupa materi (kebenaran). Kedua, kenyataan yang berupa rohani (Kejiwaan).[3]

Senin, 04 Juli 2011

Filsafat Imam Al-Ghazali



            Biografi Imam Al-Ghazali 
        Imam Al-Ghazali Lahir pada 450 H (1058 M) di desa Taberan distrik Thus, Persia, dan bernama Abu Hamid Muhammad, Gelarnya adalah "Hujjatul Islam" dan gelar wangsanya adalah Ghazzali. Nama ayahnya kurang begitu dikenal namun kakeknya adalah orang terpandang pada masanya.
          Ayahnya adalah seorang pemintal bulu wol, dan dari kehidupannya yang miskin beliau ingin agar anak-anaknya menjadi ulama atau orang shaleh. Sehingga setelahbeliau wafat anak-anaknya diasuh oleh teman baiknya seorang sufi dengan memberikan bekal sisa harta peninggalannya. Beliau meninggalkan wasiat “ saya sangat menyesal dulu tidak belajar. Untuk itu, saya berharap agar keinginan itu terwujud pada kedua anak saya ini, maka didiklah keduanya dan gunakanlah sedikit harta peninggalan saya unuk mengurus keperluannya.”[1]
Sufi tersebut memastikan pendidikan kedua ank temannya ini, sampai habislah harta peninngalan ayahnya. Akhirnya sang sufi menyarankan mereka untuk pergi ke Sekolah yang menyediakan beasiswa.
Setelah belajar dari teman ayahnya, Al-Ghazali dan adiknya melanjutkan pendidikan ke sekolah agama didaerahnya, di Thus dan belajar ilmu fiqh dari Abu Hamid Ahmad Ibn Muhammad Ath-Thusi Ar-Radzkani, lalu berangkat ke daerah Jurjan dan berguru pada Abi Al-Qaim Islmail. Kemudian, beliau melakukan perjalanan ke Naisabur dan tinggal di Madrasah Nizhamiyah, pimpinan Al-Haramain Al-Juwaini. Pada waktu itu, Naisabur dan Khurasan merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan yang terkenal di dunia Islam. Kemudian, beliau menjadi murid Imam Al-Haramain Al-Juwaini (guru besar di Madrasah Nizhamiyah Naisabur). Di antara pelajaran yang diberikan di sekolah ini adalah teologi, fiqh dan ushul fiqh, filsafat, logika dan sufisme. Beliau tinggal di Naisabur sampai wafatnya Al-Haramain tahun 1095 M.
Ketika Al-Ghazali mendalami ilmu kalam, beliau banyak melihat bahaya yang ditimbulkan dari perkembangan pemikiran ilmu kalam daripada manfaatnya. Ilmu ini lebih banyak mengeluarkan premis-premis yang mempersulit dan menyesatlkan ketimbang menguraikannya secara jelas. Karena itulah, Al-Ghazali meninggalkan ilmu kalam dan pindah mengejar ilmu filsafat. Akan tetapi, di bidang filsafat pun, Al-Ghazali banyak menentang kecenderungan para filsuf pada masanya yang membahayakan akidah.
Setelah banyak mendalami filsafat, Imam Al-Ghazali memandang bahwa filsafat tidak mampu menyingkap metafisika, bahkan banyak melahirkan kerancuan filsuf dalam menerapkan dalil. Imam Al-Ghazali kemudian melakukan kritik terhadap filsafat dan meninggalkannya.
Al-Ghazali beralih dari filsafat ke aliran bathiniyah. Kelompok bathiniyah ini sangat kontra dengan para filsuf yang menggunakan rasio sebebas-bebasnya. Mereka hanya menerima realitas dari Imam yang ma’sum (terpelihara dari dosa), yang menurut mereka akan selalu ada setiap masa.
Imam Al-Ghazali tidak menerima keyakinan aliran bathiniyah tentang ke ma’sum para imamnya, tetapi Al-Ghazali menyebutkan dengan istilah al-qisthas al-mustaqim, yaitu hal ini tidak dapat diperoleh dari Imam yang ma’sum, tetapi akan didapat dari Al-Qur’an sebagai sumber dan Al-Hadist.
Dengan kritik tersebut, Al-Ghazali meninggalkan aliran bathiniyah dan beliau memilih tasawuf sebagai tempat pencarian ketenangan jiwa dan pikiran.

Zakat


         Pengertian Zakat
Menurut bahasa kata Zakat (zakah) mengandung banyak arti, antara lain keberkahan, kesucian, kebaikan dan kesuburan. Berasal dari kata zaka yakni kata kerja untuk masa lalu dan yazku  kata kerja masa sekarang dan mendatang, yang berarti bertambahnya jumlah sesuatu atau tanaman dengan subur. Adapun kata zakiy digunakan untuk menyebut seseorang yang berbuat baik, terpuji, terpercaya atau kebajikan  dan sebagainya.
Zakat menurut istilah agama islam ialah kadar harta yang tertentu, yang wajib dikeluarakn oleh seseorang yang diberikan kepada yang memerlukan seperti fakir, miskin, serta untuk kepentingan nggota masyarakat lainnya yangmemerlukan bantuan dan berhak menerimanya, dengan beberapa syarat dan ketentuan untuk pemberi dan penerimanya. Disebut demikian, karena zakat memberikan kesuburan dan kebersihan serta keberkahan dalam harta tersebut. Seperti tanaman yang dibersihkan dari  hama sehingga tumbuh subur.[1]

         Dalil Al-Qur’an dn As-susnah tentang Zakat
Sebagai salah satu rukun islam yang lima. disebutkan dalam al-qur’an sebanyak tiga puluh dua kali dalam Al-Qur’an, dan juga dalam Hadits. Namun dalam hal ini penulis hanya menuliskan sebagian ayat-ayat dan hadits yang berkenaan dengan zakat.
1. Diantaranya adalah Firman Allah SWT
QS Al-Baqarah 2:43
Artinya: “,,,dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukulah dengan orang-orang yang ruku’.” (QS. Al-Baqarah 2:43)
Dalam surat At-Taubah 9:103
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا
Artinya: “Ambillah dari harta mereka sedekah(zakat) untuk membersihkan mereka dan menghapuskan kesalahan mereka.” (A-Taubah 9:103)
Juga dalam surat Al-Baqarah 2:277
Artinya:”Sesungguhnya orang-orang beriman serta mengerjakan kebaikan, melakukan shalat, membayar zakat, mereka itu memperoleh ganjaran disisi allah, mereka tiada akan takut dan berdukacita.” (Al-Baqarah 2:277)
2. Diantaranya Sabda Nabi Muhammad SAW
بُني الإسلام على خمس: شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله، وإقام الصلاة، وإيتاء الزكاة، وصوم رمضان، وحج البيت
Artinya: ”Islam itu di tegakkan di atas 5 dasar: (1) Menyaksikan tidak ada tuhan selain Allah, dan bahwasannya nabi Muhammad itu utusan Allah.(2) Mengerjakan shalat lima waktu.(3) Membayar zakat.(4) engerjakan Haji.(5) Berpuasa dalam bulan Ramadhan”.(Sepakat ahli Hadits).[2]           
Dan Sabda Nabi Saw, ketika mengutus Mu’adz ke Yaman,
”Beri tahulah mereka bahwa Allah telah mewajibkan  dikeluarkannya sedekah dari harta-harta mereka, yang diambil dari para hartawan mereka untuk diberikan kepada fakir-miskan diantara mereka
[url=https://www.auroramine.com/?ref=40416][img]https://www.auroramine.com/assets/images/banner/b2.gif[/img][/url]