FILSAFAT ILMU
DASAR-DASAR ILMU PENGETAHUAN
A. Landasan Ontologi
Ontologi yang merupakan salah satu bahasan filsafat yang paling kuno diantara lapangan penyelidikan filsafat yang lain yang membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis ialah seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pemikiran awal mula alam Yunani telah menunjukan perenungan dalam bidang ontologi ialah atas pemikiran Thales, yang merupakan salah satu filsafat Yunani yang terkenal dan tertua.[1]
Pada masanya, kebanyakan orang belum bisa membedakan antara penampakan dengan kenyataan. Dan pendekatan ontologi dalam filsafat mencullah beberapa paham, yaitu: (1) Paham monisme yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme; (2) Paham dualisme, dan (3) pluralisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham Ontologik.
Pada masanya, kebanyakan orang belum bisa membedakan antara penampakan dengan kenyataan. Dan pendekatan ontologi dalam filsafat mencullah beberapa paham, yaitu: (1) Paham monisme yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme; (2) Paham dualisme, dan (3) pluralisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham Ontologik.
Ontologi merupakan cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat sesuatu yang ada. Dari aliran ini muncul empat macam aliran filsafat, yaitu : (1) aliran Materialisme; (2) aliran Idealisme; (3) aliran Dualisme;(4) Prulallisme; (5) aliran Agnoticisme[2]. Pembicaraa tentang Hakikat adalah menerangkan dari segala sesuatu yang ada dan hal ini merupakan pembicaraan yang luas sekali, karena hakikat adalah suatu realitas, yakni sesuatu yang nyata dan sebenaranya. Jadi hakikat adalah sesuatu yang nyata dan sebenarya dan bukan kenyataan sementara, berubah dan menipu. Adalah suatu hal yang harus kita terangka kepada orang lain dalam persoalan ontologi. Pertama kali orang dihadapkan kepada dua macam kenyataan, yakni: Pertama, pernyataan yang berupa materi (kebenaran). Kedua, kenyataan yang berupa rohani (Kejiwaan).[3]
Pembicaraan tentang hakikat sangatlah luas sekali, yaitu segala yang ada dan yang mungkin adalah realitas; realita adalah ke-real-an, riil artinya kenyataan yang sebenarnya. Jadi hakikat adalah kenyataan sebenarnya sesuatu, bukan kenyataan sementara atau keadaan yang menipu, juga bukan kenyataan yang berubah.[4]
Pembahasan tentang ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk menjawab “apa” yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda.[5] Kata Ontologi berasal dari bahasa Yunani, yakni: On yaitu being dan Logos ialah Logic. Jadi Ontologi adalah The theory of being qua being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan).[6] Louis O. Kattsoff dalam bukunya Element of Philoshopy mengatakan, Ontologi itu mencari ultimate reality dan menceritakan bahwa diantara contoh pemikiran ontologi adalah pemikiran Thales, yang berpendapat bahwa airlah yang menurutnya Ultimate Subtance yang mengeluarkan semua benda.[7]
.Sedangkan pengertian Ontologi menurut Jujun S. Surya sumantri, ontologi menurut istilah membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”.[8]
Sementara itu, A. Dardiri dalam bukunya Humaniora, Filsafat, dan Logika mengatakan, ontologi adalah menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan cara yang berbeda di mana entitas dari kategori-kategori yang logis yang berlainan (objek-objek fisis, hal universal, abstraksi) dapat dikatakana ada; dalam kerangka tradisional ontologi dianggap sebagai teori mengenai prinsip-prinsip umum dari hal ada, sedangkan dalam hal pemakaiannya akhir-akhir ini ontologi dipandang sebagai teori mengenai apa yang ada.[9]
Term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1636 M. Untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis. Dalam perkembangannya Christian Wolff (1679-1754 M) membagi metafisika menjadi dua, yaitu metafisika umum dan metafisika khusus. Metrafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi.[10]
Dengan demikian, metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan prinsip paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada. Sedang metafisika khusus masih dibagi lagi menjadi kosmologi, psikologi, dan teologi. Kosmologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang alam semesta. Psikologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang jiwa manusia. Teologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan Tuhan.[11]
Di dalam pemahaman ontologi dapat ditemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran sebagai berikut :
1. Monoisme
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja. Karena hakikat haruslah satu saja sebagai sumber asal, baik yang asalnya itu berupa materi ataupun berupa rohani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Istilah monisme oleh Thomas Davidson disebut dengan Block Universe.[12] Paham ini kemudian terebagi ke dalam dua aliran:
a. Materialisme.
Materialisme, aliran ini juga sering disebut dengan aliran naturalisme.[13] Hal ini karena Materialisme dapat dianggap sebagai suatu penampakan diri dari Naturalisme. Aliran ini bersumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani. Aliran ini menyatakan bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta.[14] Yang ada hanyalah materi, yang lainnya jiwa atau ruh tidaklah merupakan suatu kenyataan yang berdiri sendiri. Jiwa dan ruh merupakan akibat saja dari proses gerakan kebenaran dengan dengan salah satu cara tertentu. Aliran ini menyatakan bahwa alam saja yang ada, sedangkan yang diluar alam tidak ada, dan yang dimaksud alam disini adalah segala-galanya, meliputi benda dan ruh. Jadi benda dan ruh sama nilainya. Namun sebaliknya Aliran ini beranggapan bahwa ruh adalah kejadian dari benda. Jadi antara keduanya berbeda nilainya.
Tokoh dalam pemikiran ini adalah bapak filsafat, yaitu Thales (624-546 SM) tentang air sebagai sumber kehidupan. Lalu Anaximender (585-528 SM) dengan pemikirannya tentang udara sebagai sumber kehidupan, dan Demokritos (460-370 SM) tentang atom-atom yang banyak dan lembut, sebagai awal mula kehidupan.
Alasan mengapa aliran ini berkembang sehingga memperkuat dugaan bahwa yang merupakan hakikat adalah:
· Pikiran sederhana tidak mampu memikirkan sesuatu di luar ruang yang abstrak, jadi hanya bisa memikirkan apa yang terlihat dan dan dapat di raba, sebagai kebenaran terakhir.
· Penemuan-penemuan menunjukan betapa bergantungnya jiwa pada badan, hal inilah yang membuat peristiwa jiwa sebagai peristiwa jasmani.
· Munculnya Tuhan dari suatu benda yang memang sangat pokok untuk manusia, Dalam sejarahnya manusia memang bergantung pada benda seperti pada padi. Dewi Sri dan Tuhan muncul dari situ. Kesemuanya itu memperkuat dugaan bahwa yang merupakan haklekat adalah benda.[15]
b. Idealisme
Aliran idealisme dinamakan juga spiritualisme. Idealisme berarti serba cita sedang spiritualisme berarti serba ruh.[16] Idealisme diambil dari kata “Idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah suatu jenis dari pada penjelmaan ruhani. Aliran ini menganggap ruh sebagai hakikat yang sebenarnya.
Alasan aliran ini yang menyatakan bahwa hakikat benda adalah ruhani, spirit atau sebangsanya adalah:
· Ruh memiliki nilai yang sangat tinggi daripada badan, lebih tinggi nilainya dari materi bagi kehidupan manusia. Ruh itu dianggap sebagai hakikat yang sebenarnya dan materi hanyalah badannya bayangan atau penjelmaan.
· Manusia lebih dapat memahami dirinya daripada dunia luar dirinya.
· Materi ialah kumpulan energi yang menempati ruang. Benda tidak ada, yang ada energi itu saja.
Aliran ini dapat dikatakan sebagai aliran Idealisme atau Spritualisme karena menganggap bahwa setiap kenyataan yang ada bhkan kenyataan manusia adalah ruh, bahkan ruh tidak menguasai perseorangan namun juga kebudayaan. Jadi budaya adalah perwujudan alam cita-cita dan cit-cita itu adalah ruhani. Meski begitu materi untuk aliran ini sebenarnya tidak ada.[17]
Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui pada ajaran plato (428-348 SM) dengan teori alam ideanya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di alam mesti ada idenya, yaitu konsep universal dari tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati ruangan ini hanyalah berupa bayangan (kopian) saja dari alam ide itu. Jadi idealah yang menjadi hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu. Aristoteles (384-322 SM) menggambarkan alam ide itu sebagai tenaga yang berada didalam benda itu sendiri, yang menjalankan pengaruhnya dari dalam.
2. Dualisme
Dualisme adalah aliran yang memadukan antara dua paham yang saling bertentangan, yaitu materialisme dan idealisme. Menurut aliran dualisme materi maupun ruh sama-sama merupakan hakikat. Materi muncul bukan karena adanya ruh, begitu pun ruh muncul bukan karena materi. Aliran dualisme berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit. Sama-sama hakikat. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini. Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja sama kedua hakikat ini dalam diri manusia.[18] Tetapi dalam perkembangan selanjutnya aliran ini masih memiliki masalah dalam menghubungkan dan menyelaraskan kedua aliran tersebut di atas. Sebuah analogi dapat kita ambil misalnya tentang jika jiwa sedang sehat, maka badan pun akan sehat kelihatannya. Sebaliknya jika jiwa seseorang sedang penuh dengan duka dan kesedihan biasanya badanpun ikut sedih, terlihat dari murungnya wajah orang tersebut.
Tokoh paham ini adalah Descrates (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Descrates menamakan kedua gabungan aliran tersebut sebagai dunia kesadaran (ruhani) dan dunia ruang (kebendaan).[19]
3. Pluralisme
Aliran ini berpandangan bahwa semua macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictonary of Philosophy and Religion dikataka sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah anaxagoras dan Empedocles yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari 4 unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara.
Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M). Kelahiran New York dan terkenal sebagai seorang psikolog dan filosof Amerika. Dalam bukunya The Meaning of Truth James mengemukakan, tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal. Oleh karena itu tiada kebenaran yang mutlak, karena dalam perkembangannya selalu berubah, karena apa yang dianggap benar dapat dikoreksi lagi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu, dunia bukanlah Universum, melainkan Multi-Versum, karena dunia berisi banyak hal an beraneka ragam.[20]
4. Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sdebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif positif. Istilah Nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev dalam novelnya Father And Chilidher (1862 M) di Rusia. Doktrin tentang aliran ini sebenarnya sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno Gorgias (483-360 SM) yang memberikan tiga Proposisi tentang realitas. Pertama, tidak ada sesuatu pun yang eksis. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui. Ini dikarenakan oleh penginderaan itu tidak dapat dipercaya, karena penginderaan itu sumber ilusi. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan kita beritahukan kepada orang lain.[21]
Tokoh aliran ini diantaranya adalah Fredrich Nietzsche (1844-1900 M). Dilahirkan di Rocken di Pursia, dari keluarga pendeta. Dalam pandangannya bahwa “Allah sudah mati”, Allah Kristiani dengan segala perintah dan larangannya sudah tidak merupakan rintangan lagi. Dunia terbuka untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Dan pada kenyataannya moral di Eropa sebagian besar masih bersandar pada nilai-nilai kristiani. Tetapi tidak dapat dihindarkan bahwa nilai-nilai itu akan lenyap. Dengan demikian ia sendiri harus mengatasi bahaya itu dengan menciptakan nilai-nilai baru, dengan transvaluasi semua nilai.
5. Agnotisisme
Aliran ini adalah aliran yang mengingkari akan kemampuan manusia untuk mengetahui tentang hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Kata Agnoticisme berasal dari bahasa Grik Agnostos, yang berarti Unknown atau tidak tahu (A artinya Not dan Gnow artinya Know).
Timbulnya paham ini karena belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkret, akan adanya kebenaran yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal. Aliran ini dengan tegas selalu menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat trancendent.
Adalah paham yang mengatakan bahwa manusia tidak mungkin mengetahui hakikat sesuatu dibalik kenyataannya. Manusia tidak mungkin mengetahui hakikat batu, air, api dan sebagainya. Sebab menurut aliran ini kemampuan manuisa sangat terbatas dan tidak mungkin tahu apa hakikat tentang sesuatu yang ada, baik oleh inderanya maupun oleh pikirannya.
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengakui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Timbul aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkrit akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal. Aliran ini dengan tegas selalu menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat trancedent. Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti, Sren Kierkegaar, Heidegger, Sartre, dan Jaspers. Soren Kierkegaard (1813-1855) yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme menyatakan, manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain.[22]
Jadi agnostisisme adalah paham pengingkaran atau penyangkalan terhadap kemampuan manusia mengetahui hakikat benda materi maupun rohani. Aliran ini mirip dengan skeptisisme yang berpendapat bahwa manusia diragukan kemampuannya mengetahui hakikat bahkan menyerah sama sekali.[23]
B. Landasan Epistemologi
Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (Theori Of Knowledge). Secara etomologi, istilah etomologi berasal dari kata Yunani Episteme = pengetahuan dan Logos = teori, atau dapat dikatakan sebagai metode. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari hakikat dan lingkup pengetahuan, asal mula atau sumber, struktur, metode dan syahnya (validitas) pengetahuan.
Epistomologi muncul karena sikap skeptis para shopis yang selalu bertanya.[24] Dalam metafisika, pertanyaan pokoknya adalah “apakah ada itu?”, sedangkan dalam epistemologi pertanyaan pokoknya adalah “apa yang dapat saya ketahui?.”
Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah:
(1) Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu?
(2) Dari mana pengtahuan itu dapat diperoleh?
(3) Bagaimanakah validitas pengetahuan itu dapat dinilai?
(4) Apa perbedaan antara pengetahuan a priori (pengetahuan pra pengalaman) dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan purna pengalaman).
Epistemologi meliputi sumber, sarana, dan tatacara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenai pilihan landasan ontologik akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang akan kita pilih. Akal (Verstand), akal budi (Vernunft), pengalaman, atau kombinasi antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang dimaksud dengan epistemologik, sehingga dikenal dengan adanya model-model epiostemologik seperti: rasionalisme, empirisme, kritisisme atau rasinalisme kritis, positivisme, fenomonologis dengan berbagai variasinya. Pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui akal, indera, dan lain-lain mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan, di antaranya adalah:
1. Metode Induktif
Induksi yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyatan hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Yang bertolak dari pernyataan-pernyataan tunggal sampai pada pernyataan-pernyataan universal. Dalam induksi, setelah diperoleh pengetahuan, maka akan dipergunakan hal-hal lain, seperti ilmu mengajarkan kita bahwa kalau logam dipanasi, ia mengembang, bertolak dari teori ini kita akan tahu bahwa logam lain yang kalau dipanasi juga akan mengembang. Dari contoh di atas bisa diketahui bahwa induksi tersebut memberikan suatu pengetahuan yang disebut sintetik.[25]
2. Metode Deduktif
Deduksi ialah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut.[26] Hal-hal yang harus ada dalam metode deduktif ialah adanya perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri. Ada penyelidikan bentuk logis teori itu dengan tujuan apakah teori tersebut mempunyai sifat empiris atau ilmiah, ada perbandingan dengan teori-teori lain dan ada pengujian teori dengan jalan menerapkan secara empiris kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari teori tersebut.
Popper tidak pernah menganggap bahwa kebenaran teori tidak bisa didapatkan dari kebenaran-kebenaran yang bersifat tunggal. Dia menganggap bahwa kebenaran atau mungkin benar dapat dikukuhkan dari hasil kesimpulan-kesimpulan yang telah diverifikasi.[27]
3. Metode Positivisme
Metode ini dikeluarkan oleh August Comte (1798-1857). Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia mengenyampingkan segala uraian/persoalan di luar yang ada sebagai fakta. Oleh karena itu, ia menolak metafisika. Apa yang diketahui secara positif, adalah segala yang tampak dan segala gejala. Dengan demikian metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan dibatasi kepada bidang gejala-gejala saja.
Menurut Comte, perkembangan perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam tiga tahap, Yaitu: teologis, metafisis, dan positif.
4. Metode Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan pun akan berbeda-beda harusnya dikembangkan suatu kemampuan akal yang disebut dengan intuisi. Pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi ini bisa diperoleh dengan cara berkontemplasi seperti yang dilakukan oleh Al-Ghazali.
Intuisi menurut Imam Al-Ghazali adalah ma,rifah, yakni pengetahuan yang didapat dari Tuhan melalui pencerahan, dan ini merupakan pengetahuan yang paling benar. Namun sifat dari pengetahuan ini bersifat individual dan tidak bissa dikomersilkan.
5. Metode Dialektis
Dalam filsafat, dialektika mula-mula berarti metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan filsafat. Metode ini diajarkan oleh Socrates. Namun Plato mengartikannya diskusi logika. Kini dialektika berarti tahap logika, yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga analisis sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan.
Dalam pengaplikasian dalam kehidupan dealitika berarti kecakapan untuk melakukan perdebatan. Teori ini merupakan teori pemikiran yang tidak tersusun, tetapi pemikiran itu seperti dalam percakapan, yang saling bertolak seperti kutub.[28]
C. Landasan Aksiologi
Pengertian aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.[29] Jadi aksiologi adalah “Teori tentang nilai”.[30]
Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Makna “etika” dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Arti kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia lain. Objek formal etika meliputi norma-norma kesusilaan manusia, dan mempelajari tingkah laku manusia baik buruk. Sedangkan estetika berkaitan denganj nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.[31]
Nilai itu objektif ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangan yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila subjek sangat berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya; atau eksistensinya, maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisis. Dengan demikian, nilai subjektif akan selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimilki akal budi manusia, seperti perasaan, intelektualitas, dan hasil nilai subjektif selalu akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Nilai itu objektif, jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang objektivisme. Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar-benar ada.
Nilai dalam ilmu pengetahuan. Seorang ilmuwan harus bebas dalam menentukan topik penelitiannya, bebas melakukan eksperimen-eksperimen. Kebebasan inilah yang nantinya akan dapat mengukur kualitas kemampuannya. Ketika seorang ilmuwan bekerja, dia hanya tertuju pada kerja proses ilmiah dan tujuan agar penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat dengan nilai-nilai subjektif, seperti; agama, adat istiadat. Tetapi perlu disadari setiap penemuan ilmu pengetahuan bisa berdampak positif dan negatif. Dalam hal ini ilmuwan terbagi dua golongan pendapat. Golongan pertama berpendapat mengenai kenetralan ilmu. Ilmuwan hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk menggunakannya. Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah berlandaskan nilai-nilai moral, sebagai ukuran kepatutannya
DAFTAR PUSTAKA
Amsal Bakhtiar, (2011). Filsafat Ilmu. Jakarta : PT. Rajwali Press, ed revisi.
Harun, Hadiwijono.2002. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kansius, cet 18
.James K. Feibleman, Ontologi dalam Dagobert D. Runes (ed).1976. Dictionary Philoshopy. Totowa New Jersey: little Adam & co.
Juhaya S. Praja,2005. Aliran-aliran dalam Filsafat dan Etika. Jakarta : Prenada Media.
Liang Gie, T. (1996). Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty.
Louis O. Kattsoff.1953. Element of Philoshopy. New York: The Royal Press Company
L Paul Edwards.1972. The Encyclopedia of Phyloshopy. New york: Mac Milan Publishing.
Paul Edwards.1972. The Encyclopedia of Phyloshopy. New york: Mac Milan Publishing, Co
Ramdon.1996. Ajaran Ontologi Aliran Kebatilan. Jakarta: Rajawali Press ed, I. Cet I
R. Semiawan, C. Dkk. (1991). Dimensi Kreatif Dalam Filsafat Ilmu. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sunarto.1983. Pemikiran tentang Kefilsaafatan Indonesia. Yogyakarta: Andi offset.
S. Suriasumatri, Jujun. 2009. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
S. Suriasumatri, Jujun. 2000. Tentang Hakikat ilmu, dalam ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Gramedia. cet. 4
Tafsir, Ahmad. (2002). Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
[1] Dikutip dari buku Amsal bakhtiar, Filsafat Ilmu: Bahwa pemikiran Thales atas perenungnnya terhadap air yang merupakan subtansi terdalam yang merupakan asal mula dari sesuatu adalah filsafat Yunani yang tertua dan terkenal.
[2] Amsal bakhtiar, Filsafat Ilmu
[3] Amsal Bakhtiar, (2011). Filsafat Ilmu. Jakarta : PT. Rajawali Press, hlm 132
[4] Ibid, 132
[5] Dikutip oleh Bakhtiar dalam buku Ramdon1996. Ajaran Ontologi Aliran Kebatilan. Jakarta: Rajawali Press ed, I. Cet I. Hlm X
[6] Dikutip oleh Bakhtiar dalam buku James K. Feibleman, Ontologi dalam Dagobert D. Runes (ed).1976. Dictionary Philoshopy. Totowa New Jersey: little Adam & co. Hlm . 219
[7] Louis O. Kattsoff.1953. Element of Philoshopy. New York: The Royal Press Company. Hlm 178.
[8] S. Suriasumatri, Jujun. 1985. Tentang Hakikat ilmu, dalam ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Gramedia. cet. 4 hlm 5.
[9] A. Dardiri dalam bukunya Humaniora, Filsafat, dan Logika. Jakarta; Rajawali.1986.hlm 17.
[10] Amsal Bakhtiar, (2011). Filsafat Ilmu. Jakarta : PT. Rajwali Press, hlm 134.
[11] Paul Edwards.1972. The Encyclopedia of Phyloshopy. New york: Mac Milan Publishing, Co, hlm. 542
[12] Ibd, hlm 363.
[13] Namun meski dikatakan sama, sebenarnya antara Matrealisme dan naturalisme terdapat sedikit perbedaan.
[14] Sunarto.1983. Pemikiran tentang Kefilsaafatan Indonesia. Yogyakarta: Andi offset.
[15] Amsal Bakhtiar, (2011). Filsafat Ilmu. Jakarta : PT. Rajwali Press, hlm 136.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Tafsir, Ahmad. (2002). Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya hlm . 30
[19] Harun, Hadiwijono.2002. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kansius, cet 18, hlm 18.
[20] Amsal Bakhtiar, (2011). Filsafat Ilmu. Jakarta : PT. Rajwali Press, hlm 144-145
[21] Bakhtiar Amsal, lebih jelas lihat A. Tafsir
[22] Tafsir, Ahmad. (2002). Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya hlm, 222
[23] Amsal Bakhtiar, Hlm 148
[24] Ibid, hlm, 149.
[25] Ibid
[26] Ibid
[27] Ibid
[28] Amsal Bakhtiar, (2011). Filsafat Ilmu. Jakarta : PT. Rajwali Press, hlm 156.
[29] S. Suriasumatri, Jujun. 2009. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hlm. 234
[30] Amsal bakhtiar,hlm 162
[31] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar