Biografi Imam Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali Lahir pada 450 H (1058 M) di desa Taberan distrik Thus, Persia, dan bernama Abu Hamid Muhammad, Gelarnya adalah "Hujjatul Islam" dan gelar wangsanya adalah Ghazzali. Nama ayahnya kurang begitu dikenal namun kakeknya adalah orang terpandang pada masanya.
Ayahnya adalah seorang pemintal bulu wol, dan dari kehidupannya yang miskin beliau ingin agar anak-anaknya menjadi ulama atau orang shaleh. Sehingga setelahbeliau wafat anak-anaknya diasuh oleh teman baiknya seorang sufi dengan memberikan bekal sisa harta peninggalannya. Beliau meninggalkan wasiat “ saya sangat menyesal dulu tidak belajar. Untuk itu, saya berharap agar keinginan itu terwujud pada kedua anak saya ini, maka didiklah keduanya dan gunakanlah sedikit harta peninggalan saya unuk mengurus keperluannya.”[1]
Imam Al-Ghazali Lahir pada 450 H (1058 M) di desa Taberan distrik Thus, Persia, dan bernama Abu Hamid Muhammad, Gelarnya adalah "Hujjatul Islam" dan gelar wangsanya adalah Ghazzali. Nama ayahnya kurang begitu dikenal namun kakeknya adalah orang terpandang pada masanya.
Ayahnya adalah seorang pemintal bulu wol, dan dari kehidupannya yang miskin beliau ingin agar anak-anaknya menjadi ulama atau orang shaleh. Sehingga setelahbeliau wafat anak-anaknya diasuh oleh teman baiknya seorang sufi dengan memberikan bekal sisa harta peninggalannya. Beliau meninggalkan wasiat “ saya sangat menyesal dulu tidak belajar. Untuk itu, saya berharap agar keinginan itu terwujud pada kedua anak saya ini, maka didiklah keduanya dan gunakanlah sedikit harta peninggalan saya unuk mengurus keperluannya.”[1]
Sufi tersebut memastikan pendidikan kedua ank temannya ini, sampai habislah harta peninngalan ayahnya. Akhirnya sang sufi menyarankan mereka untuk pergi ke Sekolah yang menyediakan beasiswa.
Setelah belajar dari teman ayahnya, Al-Ghazali dan adiknya melanjutkan pendidikan ke sekolah agama didaerahnya, di Thus dan belajar ilmu fiqh dari Abu Hamid Ahmad Ibn Muhammad Ath-Thusi Ar-Radzkani, lalu berangkat ke daerah Jurjan dan berguru pada Abi Al-Qaim Islmail. Kemudian, beliau melakukan perjalanan ke Naisabur dan tinggal di Madrasah Nizhamiyah, pimpinan Al-Haramain Al-Juwaini. Pada waktu itu, Naisabur dan Khurasan merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan yang terkenal di dunia Islam. Kemudian, beliau menjadi murid Imam Al-Haramain Al-Juwaini (guru besar di Madrasah Nizhamiyah Naisabur). Di antara pelajaran yang diberikan di sekolah ini adalah teologi, fiqh dan ushul fiqh, filsafat, logika dan sufisme. Beliau tinggal di Naisabur sampai wafatnya Al-Haramain tahun 1095 M.
Ketika Al-Ghazali mendalami ilmu kalam, beliau banyak melihat bahaya yang ditimbulkan dari perkembangan pemikiran ilmu kalam daripada manfaatnya. Ilmu ini lebih banyak mengeluarkan premis-premis yang mempersulit dan menyesatlkan ketimbang menguraikannya secara jelas. Karena itulah, Al-Ghazali meninggalkan ilmu kalam dan pindah mengejar ilmu filsafat. Akan tetapi, di bidang filsafat pun, Al-Ghazali banyak menentang kecenderungan para filsuf pada masanya yang membahayakan akidah.
Setelah banyak mendalami filsafat, Imam Al-Ghazali memandang bahwa filsafat tidak mampu menyingkap metafisika, bahkan banyak melahirkan kerancuan filsuf dalam menerapkan dalil. Imam Al-Ghazali kemudian melakukan kritik terhadap filsafat dan meninggalkannya.
Al-Ghazali beralih dari filsafat ke aliran bathiniyah. Kelompok bathiniyah ini sangat kontra dengan para filsuf yang menggunakan rasio sebebas-bebasnya. Mereka hanya menerima realitas dari Imam yang ma’sum (terpelihara dari dosa), yang menurut mereka akan selalu ada setiap masa.
Imam Al-Ghazali tidak menerima keyakinan aliran bathiniyah tentang ke ma’sum para imamnya, tetapi Al-Ghazali menyebutkan dengan istilah al-qisthas al-mustaqim, yaitu hal ini tidak dapat diperoleh dari Imam yang ma’sum, tetapi akan didapat dari Al-Qur’an sebagai sumber dan Al-Hadist.
Dengan kritik tersebut, Al-Ghazali meninggalkan aliran bathiniyah dan beliau memilih tasawuf sebagai tempat pencarian ketenangan jiwa dan pikiran.