Selasa, 29 Oktober 2013

Biografi Of Abd Al Rauf Al Sinkili

      A.    Biografi Abd Al-Rauf Al Singkili (1024-1105/1615-1693)

Abd Al-Rauf Al-Sinkili atau  dengan nama lengkap Abd Al-Rauf bin Ali al-Falansuri Al-Sinkili, diperkirakan lahir pada tahun 1024 H (1615 M) menurut saran dari Ringkes setelah melakukan kalkulasi berdasarkan waktu kembalinya Abd Al-Rauf Al-Sinkili dari Timur Tengah ke Aceh.[1]
Banyak pendapat mengenai Abd Al-Rauf Al-Sinkili, salah satunya adalah bahwa beliau merupakan seorang pendatang dari negeri Arab yang menikahi seorang wanita pribumi asal Fansur (Barus). Sebuah kota pelabuhan penting di Sumatra Barat yang juga menjadi daerah penghasil kapur barus, dimana kota tersebut merupakan pusat pengkajian Islam dan titik penghubung antara Islam melayu dengan Islam di wilayah Asia Barat dan Asia Selatan.[2]
Namun, dari Peunoh Daly yang dikutip oleh Azyumardi mengatakan bahwa ayah Al-Sinkili , Syekh Ali (Al-Fansuri) adalah seorang Arab yang telah menikahi seorang wanita setempat dari Fansur bertempat tinggal di Singkel, yang lalu melahirkan seorang anak yang diberi nama Abd Rauf.[3]
Pendapat lain menyebutkan bahwa Abd Al-Rauf Al-Sinkili berasal dari keturunan Persia, dimana nenek moyangnya yang mengadakan perjalanan dagang datang ke Kesultanan Samudera Pasai pada akhir abad ke 13.[4] Menurut Hamji lebih jauh menambahkan bahwa Ayah Al-Sinkili adalah kakak laki-laki dari Hamzah Al-fansuri.[5] Kebenaran mengenai Al-Sinkili benar-benar merupakan keponakan dari Hamzah Al-Fansuri masih di belum diyakini oleh Azyumardi azra, karena tidak ada sumber lain yang mendukung hal tersebut. Namun sepertinya mengenai adanya hubungan keluarga Al-Sinkili dengan Hamzah Al-Fansuri ini dapat dilihat dari karya-karya Al Fansuri yang masih tersisa, nama Al-Sinkili diikuti dengan pernyataan “...yang berbangsa Hamzah Fansuri.[6]
Awal pendidikan Abd Al-Rauf Al-Sinkili di mulai dari desa kelahirannya yang bernama Singkel, terutama dari Ayahnya yang dikenal sebagai seorang alim yang juga mendirikan sebuah madrasah serat mengajarkan ilmu-ilmu Agama, dimana tempat ini juga menarik murid-murid dari berbagai tempat dari kesultanan Aceh untuk menimba Ilmu di Singkel.[7]
Setelah belajar dari ayahna di Singkel, Al-Sinkili melanjutkan belajarnya ke Fansuri, yang memang merupakan pusat pendidikan Islam dimasa itu. Hal ini juga dijelaskan oleh Dakkard bahwa negeri ini adalah pusat penting dan merupakan pusat penghubung antara Islam Asia Barat dan Islam di wilayah Asia Selatan.[8]Menurut Hasjmi, Al Fansuri melakukan perjalanan untuk belajar ke Banda Aceh, Ibukota Kesultanan Aceh menuju Fansuri, dan Al-Sinkili belajar kepada Syamsuddin as-Sumatrani (Syams Al-Din as-Sumatrani) dan Hamzah Al Fansuri.[9] Tetapi menurut azyumardi, apabila perkiraan Rankes bahwa Al-Sinkili Lahir pada 1615 M/1024H, maka apa yang dikatakan Hasjmi tidak benar dan tidak mungkin Al-Sinkili bertemu dengan hamzah Al Fansuri, karena Hamzah Al Fansuri meninggal dunia sekitar tahun 1607M/1016H.[10]
Sebelum Abd Rauf Al-Sinkili pergi ke Arabia untuk meneruskan belajarnya, di Aceh saat itu sedang terjadi pertentangan antara golongan penganut Wujudiah dengan pengikut Al-Raniri.[11] Menurut Azyumardi, tidak ada hubungan sama sekali antara Al-Sinkili dengan Al-Raniri yang tinggal di Aceh pada masa sekitaran tahun 1047/1637 sampai 1054/1644-45. Tetapi Al-Sinkili mengetahui ajaran yang di bawa oleh Hamzah Al-fansuru dan Syams Al-Din serta fatwa dan penganiayaan yang dijatuhkan oleh Al-Raniri kepada pengikut mereka. Pemikiran Al-Sinkili juga tidak berpihak kepada siapapun, ini terlihat dari karya-karya tulisnya yang berbeda tetapi tidak menentang dengan Hamzah Al Fansuri dan Syams Al Din. Al-Sinkili juga memiliki sikap yang sama terhadap Al-Raniri, namun dia hanya secara tidak langsung mengkritik cara pembaharuan yang dilakukan oleh Al-Raniri, dan tidak menentang mengenai ajaran-ajaran secara umum yang dibawa oleh Al-Raniri.[12]
Pada 1642, kemudian Abd Rauf Al-Sinkili pergi meninggalan Aceh menuju ke Jazirah Arabia untuk melanjutkan studinya kepada para ulama di sana. Meskipun tahun-tahun pertama di Arabia karier Al-Sankili tidak jelas, tetapi dia meninggalkan catatan biografi mengenai  perjalanan belajarnya selama 19 tahun di Arabia. Catatan tambahan mengenai perjalanannya juga terdapat di dalam kolofon salah satu karyanya, “Umdat Al-Muhtajin ila Suluk Maslak Al Mufridin”, yang didalamnya memberikan informasi mengenai tarekat-tarekat yang Al-Sinkili pelajari, tempat-tempat dimana dia belajar dan guru-gurunya saat dia belajar, serta para ulama yang dia temui. Catatan tersebut setidaknya memberikan gambaran bagaimana seseorang melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu agama dan mengungkapkan bahwa yang terjadi bukan hanya saling silang jaringan ulama, melainkan sebuah proses penyebaran pengetahuan Islam dan keilmuan di kalangan para ulama.[13]
Perjalanan belajar Al-Sinkili tersebar di sejumlah tempat, yang tersebar disepanjang rute haji kala itu, yakni dari Dhuha (Doha) di wilayah Teluk Persia, Yaman, Jeddah, dan akhirnya Makkah dan Madinah. Di Dhuha, Qatar dia belajar dengan Abd Al-Qadir Al-Mawrir, namun hanya sebentar. Lalu, di Yaman di wilayah Bayt Al-Faqih dan zabid yang merupakan pusat-pusat pengetahuan Islam, dia belajar dari terutama dari keluarga Ja’man, seperti Ibrahim bin Muhammad bin Ja’man, Ibrahim bin Abd Allah bin Ja’man dan Qadhi Ishaq bin Muhammad bin Ja,aman,  yang merupakan pilar masyarakat sufi di Yaman seperti yang dikatakan oleh Al-Muhibbi.[14]
Diantara para gurunya dari keluarga Ja’man tersebut yang paling penting adalah Ibrahim bin Abd Allah bin Ja’man yang terkenal sebagai seorang Muhaddits dan Mufaqih serta pemberi fatwa yang produktif. Dia merupakan salah seorang yang dicari untuk konsultasi
Selain belajar secara teratur dan tetap pada para guru tertentu, ‘Abd Al-Rauf juga memperolehi ilmu melalui jalan bergaul dengan ulama, para qadhi dan mufti dari berbagai negeri. Misalnya, beliau pernah belajar kepada Syaikh ‘Umar Fursan  (Mufti negeri Mukha), ‘Abdul Fattah al-Khas (Mufti Zabid), Faqih Tayyib Jam’an  (Mufti Bait al-Faqih), Qadhi Tajuddin di Makkah, ‘Abdul Rahman al-Hijazi dan sebagainya. Dia juga memiliki beberapa guru di Mawza, Mukha, Al-Lumayah, Hudaydah, dan Ta’izz.
Lalu, Abd Al-Rauf Al-Sinkili meninggalkan Yaman dan mengikuti rute haji ke Jeddah, dan belajar dengan Muftinya Abd Al-Qadir Al-Barkhali. Selanjutnya menuju Makkah, dimana disana dia belajar kepada Badruddin Lahori dan Abdullah Lahori. Di Mekkah guru yang terpenting adalah Ali bin Abdul Qadir Al-Thabari yang mungkin diperkenalkan oleh keluarga Ja’man di Yaman.[15]
Perjalannya berlanjut ke Kota Madinah, dimana dia mendpatkan guru-guru yang terkenal ialah Ahmad al-Qushashi yang mengajarnya ilmu Tasawwuf dan Ibrahim al-Kurani, anak murid al-Qushashi, yang mengajarkan juga Tasawwuf  kepada Abd Rauf Al-Singkili setelah Al-Qushashi meninggal, lalu dia mendapatkan Ijazah dari Al-Kairuni.[16] Inilah  akhir dari perjalanan belajar seorang Abd Al-Rauf Al-Sankili, dimana dari Al-Qushashi yang merupakan khalifah Tarekat Sattariyah dan Qadariyah, beliau menerima ajaran Tarekat tersebut yang juga merupakan akhir dari perjalan belajar dari jalan mistis.[17]
Al-kurani adalah guru yang paling dianggap berjasa dalam perjalanan ke ilmuan seorang Al-Sinkili, karena beliaulah Al-Sinkili memiliki kesamaan bukan hanya dalam pemikiran, melainkan juga dari tulisan-tulisan serta tinggkah laku Al-Sinkili dengan Ibrahim Al-Kurani.
Selama di Arab itulah, Abd Rauf Al-Sinkili mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan, khususnya dalam ilmu Tasawuf dan Tarekat, bahkan Abd Rauf Al-Sinkili mengafiliasi para pelajar dari Jawa ke dalam Tarekat Syathariyah.[18] Dalam catatanya juga Al-Sinkili menuliskan nama-nama guru yang dia temui dalam perjalanan belajarnya di antaranya; 19 guru yang, dimana Al-Sinkili belajar berbagai cabang disiplin Islam, dan 27 ulama lainnya yang memiliki hubungan pribadi dengan Al-Sinkili.[19]
       B.     Karya-Karya Abd Al-Rauf Al Singkili
Abd Al-Rauf Al-Sinkili menulis sekitar 22 karya yang membahaskan tentang Fiqih, tafsir, ilmu kalam dan tasawuf. Dalam karya Al-Sinkili seperti halnya gurunya Al-Kurani yang berusaha untuk menyesuaikan antara syari’at dan Tassawuf atau antara ilmu zahir dengan ilmu Batin.[20] Karya utama Al-Sinkili dalam bidang Fiqih ialah Mir’at al-Taullab fi Tasyil Ma’rifah Al-Ahkam Al-Syar’iyyah Al-Malik Al-Wahhabyang di tulis atas permintaan Sultanah Safiyatuddin (Sultan Aceh) yang selesai pada 1074 H/ 1663 dimana karya ini membahas tentang persoalan-persoalan Fiqih menurut Mazhab Shafi’i, namun berbeda dengan karya Sirat al-mustaqim karya Ar-Raniri yang hanya membahas tentang ibadah, sedangkan  Mir’at al-Thullabmengemukakan tentang aspek mu‘amalat, termasuk kehidupan politik, sosial, ekonomi dan keagamaan di kalangan kaum Muslimin.[21]
Oleh karena bahasan topik-topik  yang begitu luas, ia merupakan suatu  karya  yang amat penting  dalam bidang ilmu tersebut. Sumber utama bagi karya ini adalah kitab Fath al-Wahhab, karya Zakaria al-Ansari, yang merupakan seorang  ‘alim yang terkemuka  dalam  jaringan ulama dari Timur Tengah. Tetapi, Al-Sinkili juga mengambil sumber rujukan kepada karya-karya para ulama sepertiFath Al-jawwab dan TuhfatAl-Muhtaz yang merupakan karya dari  Ibn Hajar  al-Haithami,Nihayat Al-Muhtaj karya Syamsuddin al-Ramli,Tafsir al-Baidhawikarya Ibn ‘Umar al-Baidhawi dan Syarh Shahih Muslim Karya Imam al-Nawawi. Dengan rujukan yang demikian, Al-Sinkili menunjukkan kepada kita tentang hubungan intelektualnya dengan jaringan ulama.
Dengan karya ini juga, Al-Sinkili menjadi tokoh yang  pertama di Nusantara yang menulis mengenai fiqh mu‘amalat.Pembaharuan yang dilakukannya ialah beliau telah memperlihatkan kepada umat Melayu bahawa doktrin-doktrin hukum Islam tidak terbatas kepada ibadat semata, tetapi merangkumi juga seluruh aspek kehidupan seharian mereka. Kitab ini masih digunakan di sesetengah tempat di Nusantara, namun  ia tidak lagi tersebar luas seperti pada zaman yang lampau. Misalnya, ia masih menjadi rujukan dalam pengajian di Pondok  Kerandang, Trengganu, Malaysia. Karya lain Al-Sinkili dalam bidang feqah ialah Kitab al-Fara’idh  yang digunakan  di pondok/pesantren hinggalah ke  abad ke-20.[22]
 Selain itu, karyanya yang sangat fenomenal adalah tafsir Al-Qur’an pertama yang berbahas melayu yang bertahan selama tiga abad, yakni : Tarjuman Al-Mustafid.
Al-Sinkili juga menurut Azyumardi Azra, merupakan peletaka dasar antara Terjemah (Terjemahan) dan Ilmu Tafsir. Selain itu Al-Sinkili juga berperan dalam ilmu tafsir Hadits, dimana dia menulis dua karya dalam bidang Hadits. Karya pertama adalah mengenai Hadits Arba’in (40 Hadits karya Imam An-Nawawi, yang ditulis atas permintaan Sultanah Zakkiyat Al-Din). Kedua  Al-Mawa’izh Al-Badi’ah, yang merupukan kumpulan Hadits Qudsi (Hadits yang berasal dari wahyu Tuhan)[23]
       C.    Perjalanan Karier Abd Al-Rauf Al Singkili
Setelah menuntut ilmu yang begitu tekun, lama dan panjang, di perjalanannya di jalur Haji, akhirnya Abd Al-Rauf Al-Sinkili kembali ke tanah airnya di wilayah Aceh pada tahun 1661. Dengan bekal ilmu yang dimiliki oleh Al-Sinkili, beliau berperan aktif dalam dunia dakwah, pendidikan, penulis, pemimpin tarekat dan pentadbir dalam bidang agama demi memajukan agama, bangsa dan negaranya. Karena itulah nama Abd Al-Rauf menjadi terkenal hampir diseluruh Nusantara.[24]
Dalam perannya sebagai seorang Mubaligh dan pengajar (guru) beliau mendirikan sebuah tempat yang sangat strategis, yakni di muara sungai tanpa memperhatikan upah atau jumlah bayaran yang beliau terima (Hal ini sangat berbeda jauh dengan kenyataan yang saat ini terjadi). Alasanya adalah bahwa tempat tersebut mudah untuk didatangi oleh masyarakat yang berada di pedalaman yang menggunakan sungai sebagai sarana transporyasi dan dari daerah luar yang melalui jalur laut.[25]
Ketika itu juga Al-Sinkili menulis dan menyusun buku-buku agama dalam berbagai bidang disiplin ilmu. Para muridnya mempelajari karya-karya tulisannya itu dengan tekun. Antara mereka juga ada yang sempat menyalinnya dengan lengkap, tetapi ada juga yang hanya sempat menyalin sebagian.
Atas dedikasi dan jasanya terhadap dunia pendidikan inilah membuat perhatian Sultanah Safiyatuddin yang memerintah masa itu meminta Al-Sinkili untuk menjadi Qadhi Sultan yang sempat ditinggalkan oleh Al-Raniri. Pada awalnya Al-Sinkili menolak tawaran tersebut, namun atas dasar pertimbangan kemaslahatan umat, agama dan negara, serta permintaan Ratu bahwa tidak ada yang lagi yang pantas menduduki jabatan itu maka beliau pun menerimanya. Abd Al-Rauf pun secara resmi bergelar sebagai Qadhi Malik al-‘Adil atau Mufti yang bertanggungjawab secara langsung atas pentadbiran masalah-masalah keagamaan. Ini berarti Al-Sinkili menjadi penasihat keagamaan Kesultanan. [26]

Penulis : Ahmad Fauzi Ramdani
Mahasiswa Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam 
UIN Sunan Gunung Djati Bandung



[1] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama  Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII : Akar Pembaharuan Islam Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004. Hal 229-230. Lihat D.A Rinkes, Abdoerraoef Van Singkel : Bidjrage tot de mystieck op Sumatra en Java, Heerenven: Hepkema. 1909. Hal 25-26.
[2]Samsul Munir Amin,  Karomah Para Kiai, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2008. Hal 300.
[3]Azyumardi Azra, Ibid, Hal 230. Lihat Peunoh Daly, Naskah Miratut Thullab karya Abdur Rauf Singkel, dalam Agama, Budaya, dan Masyarakat, Jakarta: Balitbang Depag RI, 1980. Hal 133.  
[4]Azyumardi Azra, Ibid,
[5]Azyumardi Azra, Ibid, Lihat A. Hasjmi, Syekh Abdurrauf Syiah Kuala, Ulama Negarawan yang bijaksana, dalam Universitas Syiah Kuala Menjelang 20 tahun,Medan: Waspada 1980, Hal 370.
[6]Dikutip Azyumardi azra dalam S. Hurgronje, The Achehnese, II, 19: P. Voorhoeve, Bayan Tajaili bahan-bahan untuk mengadakan penyelidikan mengenai Abdurrauf Singkel , Terjemahan Aboe Bakar, Banda Aceh PDIA, 1980, Hal 3. Artikel Aslinya dalam bahasa Belanda,  Bayan Tajilli Gevenen voor een nadere studie over Abdurrauf van Singkel, TBG (1952), juga dicetak ulang dalam Majalah untuk ilmu Bahasa, Ilmu Bumi dan Kebudayaan Indonesia. 85-IV (1955-7). Hal 87-117.        
[7]Azyumardi Azra, Ibid. Hal 231.
[8]Dakkard, Hitory of Barus, Hal 54-5, Voorhoev, Bayan Tajalli. Hal 3.
[9]Azyumard Azra, Ibid. Dan Samsul Munir Amin,  Karomah Para Kiai, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2008. Hal 301.
[10]Azyumardi azra, Ibid.
[11]Azyumardi Azra, Ibid.
[12]Azyumardi Azra, Ibid, Hal 331-332.
[13]Ibid.
[14]Azyumardi azra, Ibid. Hal 234.
[15]Azyumardi Azra, Ibid, Hal 236.
[16]Azyumardi Azra, Ibid, hal 238.
[17]Ibid, hal 237.
[18]Samsul Munir Amin, Ibid, Hal 300.
[19]Ibid.
[20]Dikutip dari makalah Fadhlullah Jamil, 2006, Seminar Serantau : Eksplorasi Pemikiran dan Peranan Syaikh Abdul Rauf Al-Sinkili,  dalam Abd Rauf Al-Singkli (Syiah Di Kuala): Sumbangannya Terhadap Pembaharuan Dan Kemajuan Islam Serta Sengaruhnya Di Nusantara Dalam Konteks Membangun Semula Aceh, Banda Aceh: IAIN Ar-Raniri. Hal 5-6.
[21]Ayumardi Azra, Ibid. Hal 245.
[22]Dikutip dari makalah Prof Madya Dr H. Fadhlullah Jamil, 2006, Seminar Serantau : Eksplorasi Pemikiran dan Peranan Syaikh Abdul Rauf Al-Sinkili,  dalam Abd Rauf Al-Singkli (Syiah Di Kuala): Sumbangannya Terhadap Pembaharuan Dan Kemajuan Islam Serta Sengaruhnya Di Nusantara Dalam Konteks Membangun Semula Aceh, Banda Aceh: IAIN Ar-Raniri.
[23]Ayumardi Azra, Ibid, Hal 250-251
[24]Dikutip dari makalah Prof Madya Dr H. Fadhlullah Jamil, 2006, Seminar Serantau : Eksplorasi Pemikiran dan Peranan Syaikh Abdul Rauf Al-Sinkili,  dalam Abd Rauf Al-Singkli (Syiah Di Kuala): Sumbangannya Terhadap Pembaharuan Dan Kemajuan Islam Serta Sengaruhnya Di Nusantara Dalam Konteks Membangun Semula Aceh, Banda Aceh: IAIN Ar-Raniri.

[25]Ibid.
[26]Ibid.

1 komentar:

[url=https://www.auroramine.com/?ref=40416][img]https://www.auroramine.com/assets/images/banner/b2.gif[/img][/url]